The Mortal Instruments: City of Bones
Ketika Cassandra Clare menerbitkan buku pertama The Mortal Instruments: City of Bones, waktunya sangat tepat. Dunia tengah keranjingan dengan kisah novel fantasi yang berbalut cinta remaja. Ingat bahwa di tahun 2007 dulu adalah masa-masa populernya novel fantasi romantis yang ditujukan untuk pangsa pasar Young Adult. Yang paling terkenal pada masa itu tentu saja adalah Twilight dan sekuel-sekuelnya, tetapi jangan lupa bahwa bahkan Harry Potter memasuki buku-buku terakhirnya pun menyisipkan kisah cinta antara Harry, Hermione, dan Ron di tengah petualangan ketiganya. Sebagaimana kebanyakan seri yang sukses, City of Bones pun diangkat ke layar lebar oleh Hollywood mengikuti kesuksesan dari adaptasi novel Twilight dan The Hunger Games. Sayang film yang dibintangi Lily Collins tersebut flop di pasaran dan sekuelnya tak pernah digarap lagi. Pada akhirnya The Mortal Instruments tetap hidup dalam bentuk novel (dan belakangan serial TV) yang semakin lama berkembang semakin banyak.
Kehidupan Clarissa Fray sama dengan kebanyakan gadis normal 15 tahun di Amerika sana. Ia punya hobi menggambar – mungkin menurun dari sang Ibu, tidak seberapa cantik tapi juga tidak terlalu jelek. Ia punya sahabat bernama Simon yang sejak kecil selalu bermain dan tumbuh bersama dengannya. Clary – nama panggilan Clarissa – tidak sadar bahwa hidupnya akan dijungkirbalikkan ketika ia datang ke sebuah bar bernama Pandemonium. Sebuah insiden di dalam bar itu membuat Clary masuk ke dalam dunia yang tak pernah kenal sebelumnya: dunia di mana vampir, manusia serigala (werewolf), warlock, peri (faeries) dan iblis (demon) ada. Dan satu-satunya yang menjaga mereka dari menyerang dunia manusia adalah sekelompok pembasmi kegelapan yang menamakan diri mereka Shadowhunters.

Insiden yang dialami Clary di Pandemonium ini membawanya bertemu dengan tiga orang Shadowhunters muda: Jace, Isabelle, dan Alec. Ketiganya memiliki kepribadian dan keahlian yang berbeda. Walaupun tak ingin terkait terlalu lama dengan ketiga orang ini, serangan di rumah Clary menyebabkan ibunya hilang tanpa jejak dan mau tak mau memaksa Clary meminta pertolongan kepada ketiganya. Semakin Clary menggali misteri mengenai hilangnya sang Ibu, semakin ia akan menyadari bahwa kehidupan yang selama ini ia jalani adalah kehidupan palsu yang ditutupi dengan kebohongan.
Apabila kalian kerap membaca novel bergenre Young Adult maka tidak ada sesuatu apapun yang baru yang ditawarkan oleh City of Bones. Sebuah society tak kasat mata yang tak disadari manusia biasa, sekelompok jagoan yang ganteng dan cantik dan badass, seorang protagonis yang menyadari bahwa dirinya spesial dan berbeda dari biasanya, sampai jalinan kisah cinta segitiga antara protagonis dan dua orang lawan jenis. Tidakkah pakem yang sama juga dipakai oleh Harry Potter, Twilight, Percy Jackson, dan banyak lagi seri novel fantasi lainnya? Bahkan penyebutan istilah ‘Mundies‘ untuk para manusia biasa mengingatkanku dengan Muggle dari Harry Potter dan Mundanes dari komik Fables.

Untung saja walaupun secara konsep City of Bones tampak generik, penulisan dari Cassandra Clare tetap membuatnya enak untuk diikuti. Mengingat saya sudah pernah menonton film adaptasinya, saya tentu sudah tahu garis besar cerita City of Bones – termasuk twist besar yang disiapkan Clare di klimaks novel ini. Pun demikian penulisan Clary yang secara pelan tapi pasti mengupas misteri dalam novelnya membuat saya asyik membaca dan mengikutinya. Salah satu poin positif utama dalam novel ini adalah bagaimana sang penulis tidak lupa menggali perasaan dan emosi dari tiap-tiap karakter di dalamnya. Penulisan Clare cukup cerdik, mayoritas novel ini ditulis dari sudut pandang Clary tetapi ketika ia perlu menyorot konflik internal dalam karakter lain maka secara fleksibel City of Bones memindahkan penulisan menjadi sudut pandang dari karakter yang hendak disorot itu.
Banyak aspek dari City of Bones yang bagaimanapun juga membuatku garuk-garuk kepala. Ingat twist yang saya sebutkan terjadi di penghujung buku? Sebagaimana baiknya pun Clare menulis twist ini, apabila dipikir-pikir lagi dalam konteks bukunya, bisa dibilang twist tersebut kok sulit sekali terjadi. (SPOILER ALERT) Mengingat Valentine adalah sosok yang sangat terkenal di Idris dan di kalangan Shadowhunters, mustahil ia bisa memalsukan kematiannya semudah itu… dan memalsukan kematiannya sampai dua kali? Saya sampai berulang kali membaca bagian tersebut untuk memastikan saya tidak salah baca! (SPOILER END).

Jadi bagaimana penilaian saya akan buku pertama dari The Mortal Instrument? City of Bones mungkin tidak menghadirkan sesuatu yang baru bagi dunia fantasi Young Adult, tapi Cassandra Clare membuktikan bahwa karakter yang menarik ditambah dengan penulisan yang rapi membuat kisah generik tetap enak diikuti. Yang jelas saya penasaran ingin tahu sepak terjang Clary selanjutnya di dunia barunya ini.
Score: 8.5
Categories
reviewapasaja View All
A movie, book, game, TV series, comic, manga, board game, bla bla bla, etc etc etc lover. He tends to ramble about a lots of stuff in life. You can follow in his IG page @dennisivillanueva for his daily ramblings.