The Mortal Instruments: City of Ashes
Sebelum membaca review ini saya ingin memberi peringatan bahwa walaupun review saya tidak mengandung spoiler untuk entri kedua The Mortal Instruments ini, akan ada pembahasan dan spoiler untuk buku pertamanya.
Nah, mari kita bicara lebih dahulu mengenai plot twist yang sangat saya sukai dari City of Bones: twist di mana Jace dan Clary adalah kakak-beradik. Ada banyak twist dari City of Bones mulai dari beberapa yang mudah ditebak seperti Clary adalah anak dari seorang Shadowhunters sampai yang cukup tak terduga di mana Valentine ternyata memiliki dua orang anak yang terpisah saat kegagalannya menggulingkan The Clave: Jace dan Clary.

Buku kedua ini melanjutkan petualangan dari Clary yang semakin banyak mengetahui intrik dari dunia Shadowhunters yang sebelumnya tidak ia kenal. Satu hal yang saya sukai dari penulisan Cassandra Clare di sini adalah bagaimana tidak ada faksi yang digambarkan murni sebagai jagoan dan faksi lain yang digambarkan sebagai penjahat. Grup Shadowhunters muda Jace, Isabelle, dan Alec masih memegang peranan di sini tetapi rasisme mereka terhadapi bangsa lain seperti manusia dan makhluk kegelapan lainnya (disebut sebagai Downworlders) belum dan barangkali tidak akan hilang. Mereka bukan sekedar jagoan sempurna yang tak mencurigai ras lain. Di sisi lain pembaca diberi beberapa kesempatan memahami lebih mendalam motif dan alasan kenapa Valentine berusaha menggulingkan Clave. Saya pribadi masih merasa cara Valentine menggapai ambisinya tetap tidak masuk akal – tetapi paling tidak saya kini lebih bisa mengerti apa yang memotivasinya. Hei, tidakkah ada ungkapan “The road to hell is paved with good intentions“?
Memasuki buku kedua ini sifat dan karakter dalam diri tokoh-tokoh yang ada makin didefinisikan secara jelas oleh Clare. Tiga tokoh utama yang paling banyak memegang peranan di sini adalah Jace, Clary, serta Simon. Sementara Jace dan Clary masih bingung dengan perasaan mereka satu sama lain, Simon juga mengalami perubahan besar dalam hidupnya. Salah satu hal yang tidak saya sukai menonton adaptasi film City of Bones adalah mencoba memahami bagaimana Jace dan Clary bisa tetap saling jatuh cinta satu sama lain walaupun mereka sudah mengetahui kalau mereka kakak beradik. Saya membayangkan seperti Luke dan Leia masih saling jatuh cinta walaupun Darth Vader menyatakan pada Luke bahwa ia adalah ayah keduanya. Entah bagaimana… Cassandra Clare mampu menulis kisah ini dan membuat pembaca paling tidak bisa mengerti dan mencoba bersimpati dengan cinta terlarang antara Jace dan Clary. Tidak meridhoi tentu saja… tetapi paling juga tidak sampai mengutuk.
Satu aspek yang mengalami banyak peningkatan di buku kedua ini adalah bagaimana Clare menulis adegan-adegan pertarungan dalam novel ini. Sementara City of Bones memiliki beberapa adegan pertarungan di dalamnya, penjelasan Clare di buku kedua ini terasa lebih fluid dan mengalir sehingga saya sebagai pembaca lebih mudah membayangkan pertarungannya. Clare juga mulai kreatif menggunakan kekuatan-kekuatan karakter yang ada di dalam novelnya, terutama dalam penggunaan kekuatan Mark (semacam sihir – tetapi enggan disebut sihir) di dalam dunia Shadowhunters. Pertarungan terakhir dalam buku ini terutama digambarkan secara sangat epik dan bagi saya merupakan adegan pertarungan terbaik yang ditulis oleh Clare pada dua buku awalnya. Saya pribadi suka dengan bagaimana penggambaran tokoh Clary sampai buku keduanya karena dirinya tak digambarkan sebagai sosok terpilih yang sempurna; malahan hingga akhir buku kedua kekuatan Clary belum sepenuhnya berkembang walau potensinya sudah terlihat. Menghindari penulisan seorang karakter Mary Sue adalah hal yang harus saya acungi jempol. Maklum karakter seperti Bella di seri Twilight sampai Hermione di seri Harry Potter sangat memiliki karakteristik Mary Sue (karakter sempurna tanpa cela) yang terkadang sedikit banyak menganggu alur cerita.

Mengingat posisi buku ini sebagai bab tengah dari trilogi The Mortal Instruments harap maklum apabila tak semua pertanyaan kalian terjawab di buku ini. Toh, Cassandra Clare, sebagaimana seorang dalang wayang, secara rapi memperkuat motif setiap karakter sembari menempatkan pion-pion cerita memasuki jilid terakhirnya. Saya hanya bisa berharap bahwa segala persiapan ini terbayarkan di buku terakhir penutup trilogi The Mortal Instruments.
Score: 8.0
Categories
reviewapasaja View All
A movie, book, game, TV series, comic, manga, board game, bla bla bla, etc etc etc lover. He tends to ramble about a lots of stuff in life. You can follow in his IG page @dennisivillanueva for his daily ramblings.