The Grace of Kings
The Grace of Kings adalah buku pertama dari saga The Dandelion Dynasty yang ditulis oleh Ken Liu. Ken Liu adalah seorang ABC (American Born Chinese) yang naik daun setelah cerpen-nya yang berjudul The Paper Menagerie mampu memenangkan penghargaan Nebula dan Hugo Award, penghargaan bergengsi dalam dunia literatur. Fans dari gaya penulisan Ken Liu pun menanti-nantikan kisah novel pertama yang ia tulis… dan itu adalah The Grace of Kings, sebuah kisah epik perang beberapa kerajaan ala A Song of Ice and Fire dari George R.R. Martin tetapi dengan pengaruh budaya Cina / Asia.
The Grace of Kings bersetting di sebuah benua Dara. Benua ini terbagi menjadi beberapa kerajaan Tiro dikarenakan ulah para dewa-dewa yang saling memiliki kerajaan yang mereka banggakan masing-masing. Beberapa dekade sebelum kisah ini dimulai sebuah kerajaan Tiro yang bernama Xana bangkit di bawah pimpinan Raja Mapidere. Dengan kejeniusan strategi perang dan kemajuan teknologi yang dimilikinya Xana mampu menaklukkan setiap kerajaan Tiro yang lain dan kekaisaran Xana – dan Kaisar Mapidere – pun lahir. Dekade demi dekade berlalu… sebuah kedamaian semu pun bertahan.

Banyak orang-orang dari kerajaan Tiro sebelumnya benci karena harus tunduk kepada Mapidere dan setelah sang Kaisar mangkat, pemberontakan besar-besaran pun terjadi. The Grace of Kings mengikuti kisah dari banyak Raja yang ‘muncul’ dari pemberontakan ini tetapi berfokus kepada dua figur: Mata Zyndu dan Kuni Garu.
Mata Zyndu adalah pewaris terakhir dari kerajaan Cocru – salah satu kerajaan Tiro yang terkuat dan terakhir ditaklukkan oleh Dara. Mata beruntung bahwa ia lolos dari pembantaian klannya dan ia dididik menjadi seorang petarung kuat – mungkin bahkan yang terkuat di seluruh daratan Dara. Di sisi lain Kuni Garu adalah seorang rakyat biasa. Ia seorang pemalas dengan hati emas. Ia tidak suka bekerja dan hidupnya selalu dihabiskan dengan bermabuk-mabukan. Akan tetapi dirinya yang nampak seperti tak punya ambisi ini menyimpan akal kecerdikan yang luar biasa. Kedua orang dengan talenta yang begitu berbeda ini kemudian menjadi wajah dari pemberontakan yang bertujuan menumbangkan kekaisaran Mapidere.
Bagi kalian yang familiar dengan sejarah negara China pastinya bisa melihat bahwa The Grace of Kings terinspirasi dari dua masa di China: The Warring States di mana China sempat terbagi menjadi tujuh faksi yang saling bertikai dan Romance of the Three Kingdoms di mana ada tiga kerajaan di China yang bertarung memperebutkan kuasa. Akan tetapi Ken Liu tidak semata-mata menjiplak cerita klasik China lantas mengganti settingnya saja. Ia mengambil inspirasi tetapi membangun cerita dan dunianya sendiri.

Dunia Dara yang diciptakan oleh Liu adalah sebuah dunia yang kaya dengan detail. Masing-masing kerajaan Tiro memiliki kisah dan sejarah mereka sendiri sehingga pembaca serasa ditransportasi ke dalam sebuah dunia fantasi yang terinspirasi kultur Asia. Liu juga piawai memasukkan cerita dari berbagai faksi dalam perang ini di luar Mata Zyndu maupun Kuni Garu. Sementara kedua tokoh utama dalam novel ini memiliki porsi terbesar dalam cerita, Liu tak lupa menceritakan sosok-sosok tragis maupun heroik dalam perang ini. Kalian tahu bagaimana saat membaca Romance of Three Kingdoms orang kerap mengingat kekuatan Lu Bu yang mampu menandingi keroyokan Guan Yu, Zhang Fei, dan Liu Bei sekaligus? Atau bagaimana Zhao Yun menerobos barisan tentara Cao Cao guna membawa anak Liu Bei pada keselamatan? Nah, momen-momen tragis maupun heroik yang sama ditulis oleh Ken Liu di dalam novel ini.
Salah satu hal positif yang saya suka membaca novel ini adalah bagaimana Ken Liu tidak menggambarkan satupun karakter di dalam novel ini secara sempurna. Bahkan dua protagonis utama yang ada di sini: Mata Zyndu dan Kuni Garu pada akhirnya menyadari bahwa mungkin sang Kaisar Mapidere bukanlah seorang diktator keji sepihak seperti yang mereka sangka sebelumnya. Dan bahkan orang dengan hati yang sangat baik seperti Kuni Garu pada akhirnya menyadari bahwa dalam perang ia harus mengorbankan kebaikannya demi mencapai kemenangan. Hal-hal realistis seperti inilah yang membuat The Grace of Kings hadir sebagai bacaan yang jauh lebih dewasa ketimbang karya lain dari genre sejenis.
Walaupun buku The Grace of Kings hanya entri pertama dari The Dandelion Dynasty, kalian tidak perlu khawatir buku ini berakhir dengan cliffhanger. Buku ini tamat dengan ending yang sempurna. Apabila kalian sudah merasa puas akan kisah dari tanah Dara maka tidak ada kewajiban sama sekali untuk membaca novel berikutnya. Di lain sisi kalau kalian masih ingin tahu lebih jauh mengenai apa yang akan terjadi berikutnya maka The Wall of Storms – buku keduanya sudah terbit.

Dimulai dari membangun intrik politik dan perang, penjelasan mengenai cara mengatur dan memimpin kerajaan, sampai menggali sejarah dan latar belasan karakter yang ada, The Grace of Kings adalah sebuah novel yang padat dengan informasi di tiap halamannya dan mungkin akan membingungkan para pembaca awam di awalnya. Akan tetapi pembaca yang bertahan membaca dan mau mengerti tatanan dunia yang disusun sang penulis kesabarannya akan dibayar lunas dengan setpiece perang yang seru dan beragam begitu Liu memulai kisah pemberontakan menggulingkan kekaisaran Mapidere. The Grace of Kings jelas adalah salah satu buku terbaik yang saya baca tahun ini!
Score: 9.5
Categories
reviewapasaja View All
A movie, book, game, TV series, comic, manga, board game, bla bla bla, etc etc etc lover. He tends to ramble about a lots of stuff in life. You can follow in his IG page @dennisivillanueva for his daily ramblings.