Skip to content

The Lion King (2019)

Tahun 2019 ini saya percaya akan diingat oleh banyak orang sebagai tahun puncak di mana Disney melahirkan hit demi hit. Selain ditopang oleh franchise Pixar, Marvel, dan Star Wars, Disney sendiri juga memiliki studio animasi in-house (yang membuat Frozen 2) dan studio film yang membuat live-action dari film-film animasi yang ada di katalog mereka. Setelah Dumbo dan Aladdin yang merupakan appetizer Disney mencapai klimaksnya dengan The Lion King. Sebuah karya masterpiece teknis visual dari Jon Favreau.

Apakah saya masih perlu menjelaskan kepada para penonton cerita tentang The Lion King? Dirilis pertama kali di tahun 1993 lalu, The Lion King adalah puncak dari era Disney Renaissance di dekade 1990an lalu. Dari antara film animasi di era tersebut hanya The Lion King sajalah yang mampu mendobrak angka 300 Juta dan bahkan sempat duduk sebagai peringkat kedua film terlaris sepanjang masa – hanya di belakang Jurassic Park saja. Kisah tentang seekor singa muda bernama Simba ini hampir pasti dikenal oleh semua anak-anak yang lahir di era 1980an dan 1990an. Begitu populernya film ini ketika diubah menjadi Broadway Musical oleh Disney… bahkan Broadway Musical-nya pun menjadi Musical terlaris!

Bagi yang hidup di dalam gua dan entah bagaimana mungkin kelewatan film ini… film The Lion King dibuka dengan lagu Circle of Life yang menunjukkan semua binatang datang untuk memberikan respek mereka kepada sang Pangeran kecil yang baru lahir: Simba, anak dari Mufasa dan Sarabi. Simba kecil awalnya tak sabaran untuk menjadi Raja, merasa bahwa menjadi seekor Raja itu sekedar senang-senang saja. Tapi setelah sebuah tragedi terjadi, Simba akan dipaksa belajar bagaimana menjadi seorang Raja sejati…

Film ini digarap oleh Jon Favreau yang diberi kursi sutradara oleh Disney setelah ia sukses membuat film live action The Jungle Book. Sayangnya Favreau tak bisa mengulangi kesuksesannya melalui The Jungle Book. Film satu itu memadukan hati dan efek visual sehingga menjadi tontonan live action Disney yang terbaik. Di sisi lain The Lion King terasa bermain terlalu aman. Apabila kalian menyangka bahwa Aladdin dan Cinderella bermain aman dengan mengulang kisah Disney sebelumnya maka The Lion King lebih parah lagi.

Setiap plot cerita dan setiap adegan terasa direka ulang sama dengan versi kartunnya! Momen-momen ikonik seperti bagaimana Simba tumbuh dewasa sambil bernyanyi Hakuna Matata ataupun versi opening Circle of Life di film ini terasa menjiplak versi animasinya. Saya tidak tahu apakah ini merupakan mandat Disney untuk tidak mengutak-atik film mereka atau memang Jon Favreau yang tak berani mengubah klasik ini. Sayangnya ini membuat film The Lion King jatuh sebagai tontonan yang membosankan – paling tidak bagi saya yang sudah berulang kali menonton versi animasinya yang lebih superior.

Paling tidak untuk film seperti Beauty and the Beast dan Aladdin, ada perkembangan yang digarap lebih lanjut untuk karakter Beast dan karakter Jasmine. Tidak untuk film ini. Terlepas dari satu dua momen lebih untuk Nala (itupun tak signifikan) saya tak melihat ada karakter lain yang mendapatkan porsi lebih banyak di sini. Lebih menyedihkan lagi adalah beberapa kelemahan lain yang dulu tak saya sadari menonton The Lion King saat kecil sekarang terasa jelas menontonnya saat saya sudah dewasa.

Walaupun begitu saya percaya bahwa The Lion King versi live-action ini masih memiliki daya tarik untuk penonton-penonton baru. Kualitas teknis film ini sangat luar biasa dan banyak sinematografi-sinematografi cantik savana Afrika yang membuat saya kesengsem ke sana. Banyak kritik menertawakan film ini sebagai film National Geographic tetapi rasanya itu hanya menjadi bukti betapa luar biasa mulus kualitas teknis film ini untuk bisa mencapai realisme seperti itu. Sejujurnya saya juga bingung bagaimana mengkategorikan film ini… apakah masih bisa disebut film live-action mengingat tidak ada satupun orang ada di film ini dan semua binatang yang ada praktis hanya buatan komputer semata? Dibanding menyebut film ini sebagai versi live-action apa tidak lebih pas menyebutnya sebagai remake dalam bentuk versi komputer CG?

The Lion King versi CG / Live Action ini adalah versi ketiga dari The Lion King yang saya tonton. Selain versi animasinya saya juga sudah menonton kisah ini dituturkan dalam versi Broadway Musical-nya. Bagi saya pribadi film live-action ini merupakan versi yang paling inferior di antara ketiganya. Sungguh disayangkan bahwa film live-action Disney yang terlaris dari katalognya juga akan menjadi filmnya yang paling inferior. Satu harapan saya: semoga untuk film-film live-action berikutnya Disney lebih berani mengambil resiko untuk membedakan film tersebut dari versi orisinilnya. Sometimes being different is better!

Score: C+

reviewapasaja View All

A movie, book, game, TV series, comic, manga, board game, bla bla bla, etc etc etc lover. He tends to ramble about a lots of stuff in life. You can follow in his IG page @dennisivillanueva for his daily ramblings.

Leave a Reply

%d bloggers like this: