Skip to content

Raya and the Last Dragon

Beberapa tahun terakhir ini kata ‘Diversity‘ menjadi hot topic di Hollywood sana. Segenap SJW dan pecinta LGBT sibuk untuk mengedepankan hal-hal seperti empowering female sekaligus memasukkan unsur LGBT ke dalam berbagai media hiburan. Tidak terkecuali di film-film Disney.

Coba tilik kembali beberapa film Disney yang terakhir kamu tonton. Elsa tidak memiliki pasangan lawan jenis, dan begitu juga dengan Moana. Film-film Disney juga semakin banyak memasukkan film dari kultur-kultur negara lain ke dalam katalog mereka. Moana misalnya mengangkat budaya dari Hawaii (orang-orang Pacific Islander), Coco dari Pixar mengangkat budaya orang-orang Latin, sementara Black Panther dari Disney mengangkat fantasi empowerment untuk orang-orang Afrika dan kulit hitam. Seakan-akan sudah kehabisan kultur asing untuk digali, sekarang Disney mengalihkan mata mereka pada region Asia Tenggara… ya, tempat kita!

Ketika Raya and the Last Dragon disebut sebagai Disney Princess pertama yang berasal dari Asia Tenggara, saya sedikit garuk-garuk kepala. Hm, seperti apa ya film ini? Sebab Asia Tenggara adalah sebuah region yang cukup berbeda dari satu negara ke negara lainnya. Thailand, Myanmar, dan Kambodia misalnya kental dengan budaya Buddhist. Sementara dengan negara lain seperti Filipina dan Indonesia memiliki campuran budaya awal mereka dengan budaya bangsa Eropa (Spanyol dan Belanda) yang menguasai mereka selama berabad-abad.

Bagaimana Raya and the Last Dragon bisa menampilkan semua budaya itu?

Jawabannya adalah: dengan memecah teritori dari Raya and the Last Dragon. Setting dari film ini adalah sebuah kerajaan yang bernama Kumandra. Kumandra awalnya hidup dalam damai antara manusia dengan naga, sebelum mendadak sebuah serangan dari entitas negatif bernama Druun. Para Naga melawan Druun dan mengorbankan diri mereka, menyisakan hanya sebuah Kristal Naga yang menjaga dunia. Manusia yang tersisa alih-alih berdamai, malahan berperang satu sama lain demi memperebutkan Kristal Naga tersebut. Teritori Kumandra pun terpecah belah.

Setelah ratusan tahun berlalu Benja dari Klan Heart menawarkan perdamaian dengan keempat suku lainnya. Bukannya menerima perdamaian itu, keempat Klan lain justru menyerang Benja, mengakibatkan Kristal Naga terpecah menjadi lima bagian dan entitas negatif Druun kembali bangkit. Anak dari Benja: Raya, memutuskan untuk mengumpulkan kembali kelima bagian Kristal Naga, membangkitkan Sisu sang Naga Terakhir, dan menyelamatkan dunia.

Sementara cerita dari Raya and the Last Dragon terbilang generik, dengan seorang gadis yang lagi-lagi harus berangkat menyelamatkan dunianya (sama persis dengan Moana) saya mengangkat jempol dengan detail yang disematkan oleh Don Hall dan Carlos Lopez Estrada. Saya salut sekali dengan skenario tulisan Qui Nguyen dan Adele Lim (kedua penulis dari Asia Tenggara) yang… benar-benar memberikan homage kepada budaya Asia Tenggara.

Budaya universal dari Asia Tenggara seperti Topi Caping yang dipakai oleh Raya, senjata Keris, baju Batik, sampai makanan-makanan adat macam Tom Yum dan Buah Duku semua tersaji di sini tanpa terasa seperti film ini berusaha pamer. Menonton film ini mengingatkan saya betapa pentingnya kata ‘Representasi’ dan ‘Diversity’ apabila tidak dipakai menjadi senjata sok suci dari Oknum-Oknum tertentu.

Raya sendiri selaku hero utama kisah ini langsung tampil likable. Ia adalah seorang Putri yang tangguh dan bisa melakukan Pencak Silat sebagai gaya bertarungnya (koreografi film ini untuk ukuran animasi mencengangkan!), di sisi lain Raya bukan seorang Mary Sue. Ia banyak melakukan kesalahan di dalam keputusannya, dan keras kepala mengikuti saran orang lain. Menyeimbangkan diri Raya adalah sosok Sisu sang Naga. Persahabatan antara keduanya adalah momen terkuat di dalam film ini di mana kenaifan Sisu dan kekerasan hati Raya membuat flow back and forth yang baik di dalam film.

Pada akhirnya Raya and the Last Dragon adalah sebuah film animasi yang layak diacungi jempol dari Disney. Setelah saya sempat khawatir Disney akan membuat film mengenai Diversity just for Diversity’s sake (ala Mulan Live Action tahun lalu), sangat menyenangkan melihat film Raya and the Last Dragon menunjukkan bahwa film tentang Diversity dan Female Empowerment, kalau dilakukan dengan benar – is a captivating movie to watch.

Score: 8.0

reviewapasaja View All

A movie, book, game, TV series, comic, manga, board game, bla bla bla, etc etc etc lover. He tends to ramble about a lots of stuff in life. You can follow in his IG page @dennisivillanueva for his daily ramblings.

One thought on “Raya and the Last Dragon Leave a comment

Leave a Reply to SyntasiumCancel reply

Discover more from Review Apa Saja

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading