The Boss Baby
Studio animasi Dreamworks saat ini tidak dalam kondisi yang baik. Apabila dulu studio animasi ini dianggap sebagai pesaing utama dari Disney / Pixar (keduanya saya masukkan dalam satu kategori – toh sama-sama di bawah arahan John Lasseter) sekarang posisi itu sudah diisi oleh Illumination sementara Dreamworks (bersama dengan Blue Sky) telah terbuang menjadi studio animasi ‘yang lainnya’. Hal ini terlihat dari pendapatan mereka, film-film animasi yang dihasilkan oleh Dreamworks sukses – tetapi tak pernah mencapai tingkat breakout hit luar biasa macam Zootopia, Finding Dory atau Minions. Toh, pendapatan tidak menentukan segalanya, apakah The Boss Baby mampu menunjukkan bahwa Dreamworks masih layak diperhitungkan di kancah persaingan studio animasi Amerika?
The Boss Baby berasal dari buku anak-anak yang ditulis dan digambar oleh Marla Frazee. Walaupun ia tidak dikenal di Indonesia, Frazee adalah seorang penulis buku anak yang lumayan terkenal di Amerika dan telah melahirkan beberapa seri buku untuk anak-anak. Kebetulan saya belum membaca The Boss Baby sehingga saya tak bisa membandingkan film ini dengan materi orisinilnya. Pun begitu saya melihat bahwa ide di balik seorang anak yang terganggu dengan kelahiran adik barunya sebuah isu global yang bisa diterima tak hanya oleh anak-anak tetapi juga orang dewasa yang menemani mereka menonton.
Tim selama ini bahagia karena limpahan kasih sayang kedua orang tuanya. Akan tetapi perhatian yang tercurah sepenuhnya untuk dia mengalami gangguan ketika seorang bayi aneh muncul di dalam kehidupannya. Bayi yang sekaligus juga merupakan adik Tim ini datang dari korporasi para Bayi yang dikirim untuk menyabotase perusahaan para anak anjing (puppy). Alasannya cinta manusia yang ada di dunia ini terbatas dan cinta yang didapat para bayi tengah tergerus dengan para anak anjing, sebuah satire yang pintar menyinggung isu orang-orang jaman sekarang yang makin enggan menikah dan malahan berkutat dengan peliharaan mereka.
Animasi The Boss Baby menunjukkan kalau Dreamworks tidak takut untuk bermain dengan presentasi visual. Film ini dari awal hingga akhir memiliki energi yang sangat besar, meledak-ledak, dan heboh. Menontonnya membuat saya kurang lebih teringat dengan energi dari film The LEGO Batman. Banyak sekali lelucon-lelucon visual dan kata-kata yang sepertinya tak bisa kutangkap semuanya kalau hanya menontonnya sekali. Setelah sepuluh menit berlalu saya menyerah menghitung referensi-referensi film apa saja yang dilemparkan film ini kepada penonton.
Dan untunglah, karena jalan cerita dari The Boss Baby ini terbilang sangat standar dan klise. Saya menyayangkan premisenya mengenai orang yang sekarang lebih suka anjing daripada manusia tak digali lebih dalam. Pun saya menyayangkan hubungan antara Tim yang merasa kedudukannya terancam oleh hadirnya sang Boss Baby tidak digali lebih mendalam lagi. Seandainya saja kedua masalah tersebut diekspansi lebih mendalam lagi maka film ini mungkin bisa lebih baik lagi.
Seusai menilai The Boss Baby yang terlintas di benak saya adalah ini sebuah film yang benar-benar tengah-tengah dari Dreamworks. Saya yakin film ini tidak akan menjadi magnum opus dari Dreamworks seperti dwilogi How to Train Your Dragon, The Croods, ataupun trilogi Kungfu Panda. Di sisi lain ini pun bukan kegagalan Dreamworks ala Turbo atau Megamind. Sekali lagi, sebuah film Dreamworks yang sedang – sedang saja. Yang pasti anak-anak akan menyukai film ini karena presentasinya yang begitu colorful dan banyaknya visual humor yang ditampilkan dan penonton dewasa pun takkan bosan-bosan amat menyaksikannya. Another solid but not spectacular effort from Dreamworks.
Score: B-
Categories
reviewapasaja View All
A movie, book, game, TV series, comic, manga, board game, bla bla bla, etc etc etc lover. He tends to ramble about a lots of stuff in life. You can follow in his IG page @dennisivillanueva for his daily ramblings.