Wiro Sableng 212
Wiro Sableng adalah salah satu hero lokal Indonesia yang terkenal di era 1990an dulu. Ditulis oleh Bastian Tito, ia menjadi salah satu lakon di era di mana orang banyak menggemari fiksi wuxia / silat. Di era itu jugalah ada penulis terkenal asal Solo seperti Kho Ping Hoo. Popularitas Wiro Sableng kemudian mencapai puncak ketika serial TV nya dibuat dan sempat ditayangkan selama beberapa tahun di layar kaca. Setelah serial TV nya selesai, tenggelam kembalilah nama Wiro Sableng hingga tahun lalu di mana disebutkan filmnya akan digarap.
Saya harus mengakui bahwa cara promosi dari Wiro Sableng memang sangat bagus. Mulai dari peluncuran trailer pertamanya yang membangkitkan kenangan nostalgia, pemilihan casting karakter yang cukup tepat (termasuk Vino G. Bastian yang dicasting menjadi Wiro Sableng – anaknya dari Bastian Tito) sampai kerjasama film ini dengan studio 21th Century Fox – memungkinkan adanya promosi crossover dengan film Deadpool 2.

Jalan cerita dalam film Wiro Sableng ini mengikuti pakem film-film superhero Hollywood di mana masa kecil Wiro Sableng tragis karena ayah – ibu nya dihabisi di depan matanya. Beruntung bahwa sebelum Wiro Sableng turut dihabisi, ia diselamatkan oleh sosok gila yang kelak menjadi gurunya: Sinto Gendeng. Setelah ia diajari oleh Sinto Gendeng semua ilmu silatnya, Wiro diberi pelajaran pertama: mencari dan menangkap mantan murid dari Sinto Gendeng yang murtad.
Saran saya ketika menonton film ini adalah: jangan menaruh ekspektasi yang terlalu berlebihan padanya. Apabila kalian sekedar menontonnya sebagai film lucu-lucuan yang tak mengandung nilai moral apapun dan sekedar dengan adegan seru-seruan (karena sang musuh utama di film ini, Mahesa Birawa, diperankan oleh Mad Dog Yayan Ruhian) maka kalian tidak akan kecewa. Akan tetapi bila menggali lebih dalam jalan ceritanya maka ada segudang plot hole cerita menganga di film ini. Dan tidak, saya tidak akan memprotes kenapa Wiro Sableng bisa mendadak saja begitu sakti, yang saya protes adalah bagaimana flow dalam film ini benar-benar sangat buruk.
Ambil contoh dua sosok sahabat Wiro: Anggini dan Bujang Gila Tapak Sakti. Kenapa mereka tahu-tahu mau berpetualang bersama Wiro tanpa alasan yang benar-benar kuat? Lantas sosok keluarga Raja Kamandaka dalam film ini awalnya digambarkan bak figuran lantas berubah menjadi supporting character yang cukup penting di tengah film. Saya pun mengernyitkan dahi dengan muncul hilangnya Bidadari Angin Timur yang seakan-akan deus-ex machina di film ini. Apabila ia sedemikian kuat dan overpowerful, kenapa tidak dari awal saja turun tangan? Penjelasan logis pasti ada dalam novelnya tapi hey, saya kan penonton film awam yang tak tahu apapun soal sejarah Wiro Sableng?

Lebih celaka lagi adalah sosok Wiro Sableng yang sampai pertengahan film digambarkan kurang simpatik. Oke, untuk yang terakhir saya akui merupakan keluhan yang sedikit meleset apabila penggambaran tokoh Wiro Sableng memang begitu. Tetapi melihat sosok Wiro yang hampir tak peduli kepada siapapun (padahal banyak orang tak berdosa meninggal di hadapannya) kecuali wanita cantik membuat saya cukup kehilangan respek kepadanya. Sulit sih untuk simpatik dengan jagoan yang seperti ini. Malahan lebih mudah respek kepada Mahesa Birawa muda yang semenjak kecil ditindas oleh Sinto Kejam (belum jadi Sinto Gendeng karena di masa muda ia secara kelewat keji memperlakukan Mahesa Birawa). Film ini sebenarnya punya potensi mempertanyakan apakah perlakuan Sinto Gendeng yang bak langit dan bumi kepada dua muridnya menjadi alasan kenapa keduanya menempuh jalan hidup yang begitu berbeda – tetapi sayangnya lagi-lagi film ini hanya mengambil jalan mudah tanpa mempertanyakan hal itu.
Oke saya terlalu banyak mengeluh, jadi mari kita beralih ke poin positif film ini: aspek teknisnya. Baik kostum, efek visual, sampai koreografi pertarungan tangan kosong dan senjata di dalam film ini semuanya digarap dengan standar profesional sehingga terlihat membanggakan. Saya terutama mengacungkan jempol kepada Vino G. Bastian dan Sherina yang terlihat berusaha mati-matian melatih kemampuan bela diri mereka supaya tak tampil memalukan kalau harus beradu akting dengan aktor-aktor yang memang jago bela diri macam Yayan Ruhian dan Cecep Arif Rahman. Final fight antara Wiro Sableng dan Mahesa Birawa dalam film ini pun keren berat dan koreografinya campur aduk antara pertarungan satu lawan satu sampai keroyokan. Pokoknya habis-habisan deh.

Terlepas dari banyak kelemahan yang dimiliki film ini saya tetap menyarankan untuk menonton Wiro Sableng. Tujuannya adalah untuk mendukung perfilman nasional. Betul film ini tidak sempurna tetapi ada usaha yang benar. Apabila diberi kesempatan, saya berharap besar bahwa sekuelnya bisa menutupi kelemahan-kelemahan yang ada pada film pertamanya ini. Ya. Semoga!
Score: B-
Categories
reviewapasaja View All
A movie, book, game, TV series, comic, manga, board game, bla bla bla, etc etc etc lover. He tends to ramble about a lots of stuff in life. You can follow in his IG page @dennisivillanueva for his daily ramblings.