The Mortal Instruments: City of Glass
Seperti yang saya sebutkan dalam review City of Ashes, review City of Glass tidak akan berisi spoiler untuk buku ini tetapi akan berisi spoiler bagi dua buku pertama dalam seri The Mortal Instruments.
Setelah dua buku membangun konflik akan Valentine dan kubu Shadowhunters, perang antara kedua faksi ini tidak terelakkan lagi di City of Glass ini. Buku ini dibuka dengan bagaimana Jace dan keluarga Lightwood memutuskan untuk kembali ke Idris – markas utama para Shadowhunters – dan melaporkan segala tindakan Valentine yang sudah sukses menguasai dua dari tiga Mortal Instruments yang ada. Clary juga memutuskan bahwa ia ingin ikut – di luar keengganan Jace mengajaknya – dikarenakan ada seorang warlock di Idris yang konon bisa membangunkan ibunya yang tertidur. Ingat cliffhanger di buku terakhir? Wanita sahabat lama ibunya bernama Madeleine berjanji bahwa ia punya cara untuk membangunkan Jocelyn.

… lantas dia terbunuh dalam dua – tiga chapter awal buku ini.
Ya, sedikit spoiler saja, Madeleine tidak mengambil peranan apapun di dalam cerita sebelum ia terbunuh secara tragis dalam sebuah serangan awal Valentine. Dan dari sana Cassandra Clare tidak berhenti menaikkan tensi dan ketegangan dalam cerita. Mengingat ini adalah buku terakhir dari trilogi The Mortal Instruments (trilogi awal paling tidak) maka harap dimaklumi apabila tidak ada karakter yang terasa ‘aman’ di sini. Layaknya sebuah perang, siapa saja – termasuk karakter favorit pembaca – bisa mati di sini.
Makin menuju ke sini, saya semakin suka dengan karakter Simon, sahabat Clary, yang kerap terpinggirkan dalam cerita. Di antara semua karakter memang dialah yang mendapatkan perubahan paling besar. Betul, Clary dan Jace harus hidup dengan kenyataan bahwa ayah keduanya adalah seorang psikopat rasis yang ingin menguasai dunia demi ambisinya. Tetapi Simon adalah sosok paling tragis yang menjadi korban konflik supernatural ini. Di buku kedua ia digigit dan berubah menjadi vampir. Sekarang ia harus hidup dengan kenyataan bahwa ia akan menjadi sosok abadi. Sosok yang tak pernah menua. Ia mungkin tak merasakan komplikasinya sekarang sebab ia masih memiliki semua sahabat dan keluarga di sekelilingnya – tetapi keabadian adalah sebuah jangka waktu yang lama. Sangat – sangat lama. Bagaimana kehidupan Simon nantinya bila Clary, Jace, Isabelle, Alec, dan sahabat-sahabatnya yang lain sudah tiada? Saya senang bahwa konflik batin dalam diri Simon ini tidak terpinggirkan di sini – sebab jauh lebih menarik membaca mengenainya ketimbang bagaimana – untuk kesekian kalinya – Clary dan Jace masih saling mempertahankan rasa suka satu sama lain bak saudara incess kasmaran.

Apabila di buku kedua Cassandra Clare mulai melakukan taktik mengubah beberapa sudut pandang cerita, dia makin sering melakukannya di buku ini. Clary masih menjadi fokus tentu saja tetapi Jace, Simon, dan bahkan karakter-karakter sekunder lain di luar tiga protagonis utama ini pun mendapatkan spotlight mereka masing-masing untuk bercerita. Dengan taktik ini, Clare mampu memperbesar lingkup cerita tak sekedar dari sudut pandang Clary dan Jace saja tetapi dari banyak orang. Dan ini penting sebab tak seperti dua buku pertamanya, di sini beberapa plot cerita bergulir sekaligus dan saling berkaitan satu sama lainnya. Saya percaya bahwa kemampuan Clare merajut berbagai plot ini menjadi satu jalan cerita besar layak diacungi jempol. Satu lagi adalah kemampuan Clare menginjeksikan humor dalam penulisannya. Ada beberapa momen-momen komedi dalam novel ini yang cukup lucu hingga membuat saya tertawa terbahak membacanya. Untung saja komedi dan kelucuan yang ada di novel ini tak pernah menganggu momen-momen dramatis dalam cerita.
Apabila ada kelemahan dari novel ini adalah settingnya di Idris yang terasa underwhelming dibandingkan yang saya harapkan. Setelah hanya mendengar karakter-karakter Shadowhunters lain bercerita mengenainya, Clare membawa kita kali ini ke Idris secara langsung dan… hasilnya ternyata begitu saja. Secara setting saya tidak merasa Idris banyak berbeda dengan kota-kota Eropa lainnya dengan sedikit sentuhan tambahan nilai magisnya saja. Mungkin harapan saya yang menginginkan Idris sebuah tempat magis ala Hogwarts membuat saya kelewatan berekspektasi. Satu kelemahan lain yang saya sadari adalah inkonsistensi para karakter Shadowhunters mengenai pengetahuan mereka tentang pop culture. Di satu sisi Jace atau Alec terkadang bingung dengan referensi pop culture yang diutarakan oleh Clary dan Simon. Akan tetapi di kesempatan lain, mereka kemudian bisa dengan fasih menyebutkan atau mengerti referensi pop culture yang hadir dari era yang hampir sama. Terakhir adalah bagaimana Clare sepertinya banyak mengandalkan twist dalam mengejutkan pembaca. Tak seperti di buku-buku awal, kali ini saya sudah bisa menebak twist yang dipersiapkan oleh Clare sehingga reveal-nya tak seberapa mengejutkan bagiku.

Pada akhirnya City of Glass adalah penutup yang mengesankan dalam saga The Mortal Instruments. Kalau kalian memang hendak berhenti mengikuti petualangan dari Clary, Jace, dan kawan-kawannya. Cerita telah ditutup secara konklusif walaupun Clare menaburkan beberapa hint bahwa cerita ini dapat dilanjutkan bila mau (dan memang ia lanjutkan di tahun-tahun berikutnya). The Mortal Instruments pada keseluruhan bukan sebuah seri Young Adult yang mendobrak pakem apapun tetapi dengan karakter-karakter yang likable, penulisan yang ringan tapi ngalir, dan cerita yang seru, ia adalah bacaan yang layak direkomendasikan pada penggemar genre Young Adult.
Score: 8.5
Categories
reviewapasaja View All
A movie, book, game, TV series, comic, manga, board game, bla bla bla, etc etc etc lover. He tends to ramble about a lots of stuff in life. You can follow in his IG page @dennisivillanueva for his daily ramblings.