Skip to content

The Mauritanian

Pasca 9/11, Negara Amerika berubah total. Serangan dari grup teroris Islam Al-Qaeda di bawah pimpinan Osama Bin Laden mengubah dunia selama-lamanya. Amerika di bawah pimpinan George W. Bush mengirimkan pasukan dan intelejensinya ke mana-mana. Tujuan mereka adalah untuk menghentikan serangan 9/11 berikutnya. Banyak sekali orang yang ditangkap dan langsung dimasukkan ke dalam penjara, tanpa diberi kesempatan yang adil di pengadilan. Penjara tempat orang-orang itu bernama Guantanamo atau lebih dikenal dengan nama keren: Gitmo. Film ini adalah cerita mengenai seorang tawanan yang ada di dalam sana.

The Mauritanian adalah kisah dari seorang pria Mauritania yang bernama Mohamedou Ould Slahi. Pria ini ditangkap oleh otoritas pada bulan November 2001 dan dimasukkan ke dalam penjara Mauritania. Terjadi proses transfer beberapa kali sampai akhirnya Mohamedou masuk ke dalam Guantanamo Bay di tahun 2002. Selama bertahun-tahun lamanya, Mohamedou diam di sana, sebab Amerika tidak memberi alasan kenapa ia menahannya. Ia terus dimintai pertanyaan mengenai keterlibatannya di insiden 9/11, termasuk tudingan mengenai perekrut dari para teroris, tetapi Amerika tidak pernah mendapatkan jawaban yang jelas.

Nasib Mohamedou terus mengalami stagnansi sampai dua pengacara tertarik akan kisahnya: Nancy Hollander dan Teri Duncan. Keduanya mengambil kasus pro-bono (gratis) untuk membela Mohamedou. Pada awalnya Mohamedout tidak begitu saja percaya kepada Nancy dan Teri, apalagi karena di dalam penjara Gitmo ia sudah kerap disiksa untuk mendapatkan pengakuan. Di sisi lain, jangan lupa bahwa film ini bersetting di tahun yang bersangkutan, di era sekarang sudah jadi rahasia umum bahwa Gitmo merupakan penjara terkejam Amerika yang menyiksa tahanan – tetapi di era itu – masih terjadi simpang siur rumor mengenai apakah Gitmo memang tempat yang kejam atau bukan.

Saya tadinya menyangka bahwa The Mauritanian akan menjadi sebuah film tentang persidangan yang seru bak The Trial of the Chicago 7. Harapan saya tidak terpenuhi. Yang ada adalah sebuah kisah drama di mana penyingkapan terjadi secara pelan-pelan mengenai apa yang terjadi kepada Mohamedou sebenarnya. Film ini tidak terlalu tertarik menggali mengenai masa lalu Mohamedou – sehingga bagi kalian yang bertanya-tanya apakah ia benar-benar tim perekrut untuk Al-Qaeda atau bukan takkan mendapatkan jawabannya di sini. Film ini lebih berfokus mengenai perlakuan yang diterima Mohamedou di dalam penjara.

Dan inilah yang membuat film ini terasa kurang menohok bagi saya. Mungkin karena saya tinggal di Indonesia di mana kehidupan penjaranya jauh lebih kejam ketimbang di negara-negara maju macam Amerika, saya merasa terkejut melihat Mohamedou praktis diperlakukan cukup manusiawi di tempat tersebut. Selama hampir berbulan-bulan ia diwawancarai dengan sangat ‘beradab’, dan hanya ketika ia berulang kali tak mengakui keterlibatannya, baru ia disiksa. Apakah yang dilakukan oleh para militer Amerika sadis? Ya. Mungkin sadis. Tetapi coba tilik kembali apa yang dilakukan oleh para militan Taliban serta Al-Qaeda kalau menangkap korban mereka. Apa yang dilakukan di Gitmo jauh lebih manusiawi ketimbang apa yang musuh mereka lakukan… dan itulah mungkin alasan kenapa Amerika tak pernah sukses menghadapi musuh.

Tapi baiklah – saya sudah melenceng terlalu jauh dari pembicaraan mengenai film ini. Film ini menampilkan performa yang bagus dari para aktor-artis lead utamanya. Film ini memiliki tiga nama besar: Jodie Foster, Benedict Cumberbatch dan Shailene Woodley, tetapi porsi terbesar film justru diberikan kepada sang pemeran dari Mohamedou: Tahar Rahim. Aktor Perancis yang berasal dari keturunan Algeria ini tampil maksimal menunjukkan range emosi dari Mohamedou. Mulai dari rasa tak percaya, tak berdaya, takut, marah, sampai kebahagiaan. Sementara Rahim tampil brilian, ketiga aktor watak lain yang dihadapkan dengannya justru tampil biasa-biasa saja. Cumberbatch dan Woodley rasanya seperti tersia-siakan di film ini dan hanya Foster saja yang mendapatkan porsi akting lebih besar – tetapi tak memorable.

Pada akhirnya film ini sepertinya tanggung dalam dua spektrum berbeda: mau jadi seperti The Trial of the Chicago 7 gagal karena kasus persidangannya hanya terjadi setengah-setengah, dan di sisi lain mau menjadi bak The Shawshank Redemption pun tak bisa karena Tahar Rahim tak pernah diberi sosok lain untuk berakting bersama dengannya untuk melihat kehidupannya di penjara Guantanamo. The Mauritanian pada akhirnya jatuh sebagai sebuah tontonan yang agak dragging dan membosankan untuk durasinya yang lebih dari dua jam. Sangat disayangkan.

Score: 6.0

reviewapasaja View All

A movie, book, game, TV series, comic, manga, board game, bla bla bla, etc etc etc lover. He tends to ramble about a lots of stuff in life. You can follow in his IG page @dennisivillanueva for his daily ramblings.

4 thoughts on “The Mauritanian Leave a comment

  1. Saya bingung dgn perbandingan perlakuan tawanan antara Al Qaeda dan US.
    Yang satu organisasi teror dgn tujuan menebar ketakutan, yang satu lagi negara berdaulat dengan sederet perangkat pengadilan dan peraturan hukum yang jelas.
    Lagipula Al Qaeda mana oeduli tawanannya bersalah atau tidak, USA juga begitu kah?
    Atau Dennis menganggap USA itu sama dgn Al Qaeda, organisasi teror dgn kamuflase berbentuk negara.
    Saya jadi ingat perlakuan pemerintah Orde Baru memberangus aktivitas komunitas tionghoa pasca tahun 1965. Dasanya jelas: dicurigai komunis. Kalau ditangkap dan disiksa, selalu narasinya: PKI juga kejam, apa salahnya dibalas hal yang sama.
    Apakah yang ditangkap itu jelas komunis? Who knows? Kalauoun mati disiksa, masih banyak tionghoa lain yg bisa ditangkap dan disiksa dgn tuduhan terlibat PKI koq.

  2. Ya buat saya apa yang dialami di sana tidak bisa dibilang sadis-sadis amat si. Amerika masih cukup humane memperlakukan tahanannya.

    Ada begitu banyak negara lain di dunia yang memperlakukan penjahatnya dengan cara yang jauh lebih sadis ketimbang Gitmo.

    Kalau tertangkap di negara lain macam Russia, Cina dan let’s say even Meksiko saja, saya cukup yakin apa yang bakalan terjadi sama Mohamedou bakalan lebih menyedihkan lagi daripada di Gitmo. Alih-alih masih dapat bantuan pengacaran dan lain-lainnya. Mungkin dia sudah lenyap dari muka bumi begitu saja.

    • Justru itu yang bikin bingung. Kalau membandingkan antar negara memberlakukan “tawanan” (bukan penjahat ya, karena status mereka tawanan yang belum diadili) sih bisa dimaklumi. Negara dengan sistem komunis kayak RRC, Korut dan Vietnam emang dikenal main hantam, peduli tawanan bersalah atau tidak tetap disikat. Istilah kerennya, hajar dulu tanya belakangan.

      Iya, Amerika cukup humanis dibanding Russia, RRC atau Korut, tapi bandingkan sama negara2 Skandinavia misalnya. Tentu Amerika bakalan diketawain mengingat mereka mengagungkan diri sebagai “pahlawan demokrasi” dan “polisi dunia”.
      Kayaknya Amerika gak bakalan suka disamain sistem mereka RRC yang komunis, jadi lawakan lah.
      Bahkan tawanan di Indonesia parah sekali nasibnya. Kadang sudah tidak bersalah, tapi digebukin sampai cacat supaya ngaku. Masih mending kalau masih hidup, dulu era ORBA malah banyak orang hilang tanpa jejak gara2 melawan pemerintah, entah mayatnya dibuang kemana.

      Iya, tawanan yang belum diadili saja disiksa membuktikan sistem pengadilan USA masih bobrok dan korup, tapi mana mereka mau ngaku.

      Lalu kenapa dibandingkan dengan Al Qaeda yang jelas bukan negara, kecuali kalau dari awal menganggap USA dan Al Qaeda sama saja.

      • Ya karena dalam film ini kan memang Amerika sedang ‘berperang’nya dengan Al-Qaeda. Dan menangkap orang karena mereka menyangka Mohamedou orang nya Al-Qaeda. Dalam film ini diframingkan bahwa Amerika sedang berada dalam perang melawan teror menghadapi Al-Qaeda. Jadi ya itulah kenapa saya bandingkan.

        Yap. Saya juga menyebutkan di dalam review saya bahwa Indonesia dibandingkan US ya sepertinya yang terjadi pada Mohamedou terasa biasa. Mungkin gara-gara itu shock value yang ingin ditunjukkan kalau ke penonton yang tinggal di Indonesia kaya saya uda ga terlalu terasa shocking. Beda cerita kalau ini ditunjukkan ke negara-negara Skandinavia kaya yang bro Ando bilang, buat mereka shocking banget mungkin yang muncul di layar lebar mereka.

Leave a Reply to reviewapasajaCancel reply

Discover more from Review Apa Saja

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading