Skip to content

Good to Great: Why Some Companies Make the Leap… and Others Don’t (Audiobook Version)

Sebelum membaca lebih lanjut: review ini tidak sama dengan review buku-buku saya biasanya. Ini lebih tepat disebut sebagai artikel ringkasan, pendapatku pribadi mengenai konsep yang diperkenalkan dalam buku ini juga observasiku akan perusahaan yang menggunakan konsep ini – hampir 20 tahun kemudian setelah buku ini ditulis.

Good to Great: Why Some Companies Make the Leap… and Others Don’t (lebih populer dengan sebutan Good to Great) adalah buku yang ditulis oleh management guru populer: Jim Collins. Ini sebenarnya bukan buku leadership / management pertama yang ditulis oleh Jim Collins, sebelum buku ini ia telah menulis buku management terkenal berjudul Built to Last. Jadi apa bedanya buku Good to Great dan Built to Last?

1
The Prequel or Sequel of Built to Last

Ketika ia menulis Built to Last, Jim Collins mendapatkan feedback dari seorang temannya yang mengatakan bahwa buku tersebut tak seberapa berguna bagi massa kebanyakan. Pasalnya, buku tersebut lebih banyak memberikan insight mengenai cara kerja perusahaan-perusahaan raksasa yang kinerjanya memang sudah ‘great‘, alias sudah ‘hebat’. Coba tengok daftar perusahaan yang sempat dipelajari kinerjanya oleh Jim Collins: Disney, Boeing, General Electric, sampai IBM, mereka rata-rata merupakan perusahaan raksasa yang performanya memang sudah teruji di pasar saham maupun di dunia.

Menyadari hal tersebut Jim Collins dan tim risetnya kembali melakukan penelitian dan wawancara di banyak perusahaan. Setelah melakukan riset selama lebih dari lima tahun lengkap dengan wawancara banyak sosok penting di dunia bisnis, Jim Collins menemukan 11 perusahaan yang melakukan lompatan dari Good menjadi Great. Dari sekedar bagus menjadi luar biasa. Tolok ukur yang dipakai Jim Collins dan grupnya pun cukup ketat, ia hanya akan memasukkan sebuah perusahaan yang selama 15 tahun berturut-turut bisa mempertahankan performa yang baik di pasaran dan sahamnya mampu mengungguli indeks saham gabungan sebesar lebih dari tiga kali. Sebuah tolok ukur yang berat; tak heran hanya 11 perusahaan saja yang mampu melewati kriteria ini.

Setelah mempelajari kesebelasnya secara mendalam, Jim Collins dan grupnya menemukan bahwa semua korporasi itu menerapkan tujuh hal penting ini dalam manajemen perusahaan mereka. Apa saja?

1. Memiliki Pemimpin Level 5: Pemimpin Level 5 lebih dari sekedar pemimpin karismatik (itu adalah ciri khas pemimpin level 4). Pemimpin Level 5 tidak sekedar ingin yang terbaik untuknya tetapi yang terbaik untuk perusahaan – bahkan setelah kepergiannya. Ia menyiapkan penerus setelah ia pergi.

2. Pertama Siapa, Kemudian baru Apa: Pilihlah orang yang berkualitas untuk bekerja di dalam perusahaanmu, lalu baru tentukan posisi apa yang bisa mereka tempati. Menurut kata-kata Jim Collins, tempatkan orang yang benar di dalam bus perusahaan, dan tendang keluar orang yang salah dari bus.

3. Hadapi Kenyataan: Dalam menjalankan bisnis perlu mawas diri menghadapi realita, tetapi di saat yang bersamaan tak boleh menyerah atau hilang harapan. Ambil contoh ada lawan datang ingin memakan pangsa pasarmu. Jangan tutup mata menghadapi realita ini… tapi jangan juga menyerah sebelum menghadapinya.

4. Konsep Hedgehog (Landak): Fokus dan konsisten dalam hal ini: Apa passion-mu? Apa keunggulanmu? Dan Apa yang menghasilkan uang? Konsep ini akan sangat mirip dengan konsep Ikigai-nya orang Jepang: hanya tak memasukkan lingkaran ‘What the World Needs‘.

5
Prekuelnya Ikigai

5. Budaya Disiplin: Menanamkan budaya disiplin pada perusahaanmu.

6. Menggunakan Teknologi: Teknologi pada dasarnya tidak bisa menjadi pencetus perubahan dalam perusahaanmu tetapi mereka bisa menjadi alat bantu yang mempercepat proses tersebut.

7. Roda Putar: Keenam konsep di atas harus terus dijalankan secara konsisten. Dan pada suatu saat – tanpa ada hal yang disangka-sangka momentum breakthrough akan tercipta. Jangan mencari sekedar satu momen spesial bin ajaib yang akan mengubah perusahaanmu.

Secara keseluruhan saya setuju dengan ketujuh konsep di atas dengan pengecualian konsep kedua dan keempat. Mengapa? Untuk konsep kedua: Siapa Sebelum Apa, saya merasa bahwa nasehat ini kurang tepat. Dalam buku ini Jim Collins berulang kali menegaskan pentingnya membawa orang yang tepat masuk ke dalam perusahaanmu sebelum menentukan arah perusahaan. Menurut saya ini tidak masuk akal, bagaimana kamu bisa tahu orang yang tepat apabila kamu tidak tahu arah perusahaanmu? Bagaimana bisa kamu tahu kalau DIA adalah orang yang tepat? Menggunakan analogi bus di dalam buku ini, buat apa kamu memasukkan seorang tour guide yang tahu daerah Sulawesi apabila busmu menuju ke Bandung?

3
Konsep Kehebatan?

Untuk prinsip keempat: Konsep Landak yang berarti fokus kepada satu hal untuk menuju sukses… saya setuju dengan hal ini tetapi tidak sepenuhnya. Kenapa? Jim Collins beberapa kali mengkritik perusahaan yang tidak punya konsistensi menjalankan visinya sehingga akhirnya gagal karena selalu berbalik-balik arah. Tidak salah; tetapi di lain hal sebuah perusahaan kadang memang perlu berbalik dan mengubah arah usaha ketika proyek yang mereka kerjakan tidak sukses. Fleksibilitas pun merupakan kunci dari sebuah perusahaan untuk bisa bertahan hidup di lansekap pasar yang terus berubah. Ambil contoh Nokia dan Blackberry yang kini harus menghadapi ancaman kebangkrutan karena kalah bersaing dengan Apple dan Samsung (dan Android) karena mereka telat berinovasi. Nokia tetap keras kepala menggunakan OS Symbian dan terlambat mengadopsi Android sementara Blackberry bersikeras menggunakan keyboard QWERTY ketika pasar mulai mengadopsi touch screen.

Terlepas dari apakah saya setuju atau tidak dengan prinsip-prinsip yang diutarakan di buku ini, saya merasa bahwa audiobook yang dinarasikan oleh Jim Collins sendiri adalah sebuah audiobook yang berkualitas: Semua narasi dilakukan dengan intonasi dan nada suara yang jelas. Juga karena Jim Collins adalah penulis buku ini, ia tahu benar bagian mana yang perlu ia tekankan – terdengar dari perubahan nada yang ia gunakan dalam menarasikan bagian-bagian tertentu. Secara keseluruhan pun isi dari Good to Great terstruktur dengan baik sehingga membacanya (atau mendengarnya) pembaca bisa menangkap apa yang ingin disampaikan. Penyampaian konsep melalui contoh dan teori tertata dengan rapi dan isinya jauh sekali bila dibandingkan dengan Cashflow Quadrant-nya Robert T. Kiyosaki, buku bisnis yang saya baca sebelum ini.

Satu kritik yang ingin saya sampaikan untuk tolok ukur dari Jim Collins di buku ini: performa saham perusahaan-perusahaan Good to Great dibanding indeks saham Amerika dan saham blue chip Amerika. Saya sedikit tidak setuju dengan barometer penilaian ini. Kenapa?

Karena perusahaan-perusahaan yang dipelajari Jim Collins di sini praktis adalah perusahaan-perusahaan yang oleh kami, para investor saham, sebut sebagai saham second liner. Dengan kata lain saham-saham ini memiliki valuasi dan market cap lebih rendah dibandingkan dengan saham Blue Chip. Walaupun performa saham dalam kategori ini cenderung tidak stabil dibandingkan dengan saham Blue Chip ia juga memiliki kecenderungan untuk melejit lebih tinggi ketika momennya tiba dikarenakan market cap yang masih rendah. Ambil contoh saham bernama INKP di Indonesia. Performa INKP sebagai perusahaan pulp di dua tahun terakhir luar biasa di mana ia melonjak drastis dari nilai sekitar Rp 900 – 1000 per saham melejit hingga mencapai Rp 20,000 di bulan Juni 2018 lalu. Performa melejit hingga 2000% ini jauh di atas performa IHSG secara keseluruhan dan bahkan jauh di atas saham-saham Blue Chip Indonesia seperti Gudang Garam, Unilever, BCA, dan banyak lainnya. Itu juga berarti kalau kalian membeli saham senilai 1 Milyar dua tahun yang lalu, di bulan Juni 2018 lalu nilai saham itu menjadi 20 Milyar! Akan tetapi pertumbuhan ini tak stabil; nilai saham INKP yang kini turun drastis menyentuh angka Rp 11,000 saat saya menulis artikel ini – hanya lima bulan dari nilai puncaknya Juni 2018 lalu.

Sebelum saya menutup review ini, saya ingin melihat kembali bagaimana sebenarnya performa dari perusahaan-perusahaan yang ditulis oleh Jim Collins di buku tersebut. Bisakah mereka tetap mempertahankan kehebatannya? Kenapa saya merasa ini penting? Karena Jim Collins melalui konsep Pemimpin Level 5 dan Budaya Disiplin menyatakan bahwa seorang pemimpin yang hebat bisa menanamkan budaya disiplin di perusahaan yang ia pimpin, membuat perusahaan tersebut tetap bertahan hebat bahkan setelah ia pergi atau tiada. Apabila perusahaan yang ia pimpin tak dapat mempertahankan hasil yang luar biasa setelah ia pergi maka pemimpin tersebut hanya ‘sekedar’ pemimpin level 4 semata.

Barometer penilaian saya sebagai berikut: apabila perusahaan ini bisa meningkatkan nilainya sekitar 300% ke atas, saya akan menganggapnya GREAT, dari 200% – 300% akan saya nilai sebagai GOOD, dan 100 – 200% akan saya nilai sebagai AVERAGE, dan di bawah 100% sebagai BAD. Jadi, bagaimanakah hasilnya?

1. Abbot Laboratories
Nilai Saham di Tahun 2000: 15.44 USD
Nilai Saham di Tahun 2018: 72.79 USD
Grade: Great

2. Circuit City
Bangkrut
Grade: Bad

3. Fannie Mae
Nilai Saham di Tahun 2000: 52.20 USD
Nilai Saham di Tahun 2018: 1.32 USD
Grade: Bad

4. Gillette
Diambil alih oleh P&G
Grade: Bad

5. Kimberly Clark
Nilai Saham di Tahun 2000: 60.96 USD
Nilai Saham di Tahun 2018: 109.45 USD
Grade: Bad

6. Kroger
Nilai Saham di Tahun 2000: 9.22 USD
Nilai Saham di Tahun 2018: 31.39 USD
Grade: Great

7. Nucor
Nilai Saham di Tahun 2000: 12 USD
Nilai Saham di Tahun 2018: 62.78 USD
Grade: Great

8. Phillip Morris
Nilai Saham di Tahun 2008: 51.06 USD (nilai saham di tahun 2000 tidak tersedia)
Nilai Saham di Tahun 2018: 89.18 USD
Grade: Average

9. Pitney Bowes
Nilai Saham di Tahun 2000: 48.25 USD
Nilai Saham di Tahun 2018: 8.00 USD
Grade: Bad

10. Walgreens Boots Alliance
Nilai Saham di Tahun 2000: 28.50 USD
Nilai Saham di Tahun 2018: 82.40 USD
Grade: Great

11. Wells Fargo & Co
Nilai Saham di Tahun 2000: 19 USD
Nilai Saham di Tahun 2018: 53 USD
Grade: Good

Sebagai ringkasannya, dari sebelas perusahaan yang dipelajari oleh Jim Collins, empat mendapatkan nilai GREAT, satu GOOD, satu AVERAGE, sementara lima mendapat nilai BAD.

Statistik di atas saya rasa berbicara sendiri. Performa hebat dari perusahaan-perusahaan yang dipelajari di dalam buku Good to Great rupanya tidak bisa dipertahankan. Banyak di antara mereka yang malah terus melorot dari tahun ke tahun seperti Fannie Mae dan Pitney Bowes. Dua lagi seperti Circuit City dan Gillette mengalami nasib tragis. Circuit City bangkrut dan harus menutup semua toko-tokonya sementara Gillette (yang dalam buku Good to Great disebut bertahan dari upaya takeover tiga perusahaan) di tahun 2005 melakukan merger dengan P&G, bahkan di tahun 2007 divisi independen Gillette sudah dibubarkan dan dilebur ke dalam divisi utama P&G Beauty. Kesimpulannya: saya masih merasa bahwa konsep yang ditulis oleh Jim Collins di buku ini tidak salah dan bisa diterapkan tak hanya dalam pekerjaan tetapi juga kehidupan pribadimu. Akan tetapi menganggapnya sebagai satu-satunya konsep mulia atau obat mujarab menuju kesuksesan jelas salah – seperti yang sudah dibuktikan oleh sejarah.

reviewapasaja View All

A movie, book, game, TV series, comic, manga, board game, bla bla bla, etc etc etc lover. He tends to ramble about a lots of stuff in life. You can follow in his IG page @dennisivillanueva for his daily ramblings.

2 thoughts on “Good to Great: Why Some Companies Make the Leap… and Others Don’t (Audiobook Version) Leave a comment

  1. good review, bahkan ada analisis perusahaan contohnya juga setelah sekian tahun bukunya terbit. thumbs up!

Leave a Reply

Discover more from Review Apa Saja

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading