Skip to content

X-Men: Dark Phoenix

Jauh sebelum The Avengers dibentuk, jauh sebelum Robert Downey Jr. menjadi Iron Man, bahkan jauh sebelum Christian Bale menjadi Batman – para mutant alias X-Men adalah franchise superhero modern yang pertama kali dirilis di era milenium. Seakan menjadi tonggak penanda dan pembeda superhero di era jadul dan era sekarang, sekaligus menjadi tanda pertama bahwa Marvel akan menjadi penguasa film adaptasi komik menggantikan DC yang semenjak itu makin kehilangan pamornya.

Pada tahun 2019 setelah melalui berbagai tahapan sekuel, prekuel, spin-off, bahkan reboot, franchise ini berakhir dengan Dark Phoenix (dengan pengecualian bila New Mutants masih akan dirilis oleh Fox atau Disney) karena studio 20th Century Fox sudah dibeli oleh Disney, membawa para mutant ini akhirnya kembali ke pemiliknya: studio Marvel Comics. Ini menjadi sesuatu yang bittersweet sebab artinya franchise yang sudah bertahan selama hampir dua dekade ini berakhir. Bagaimana performa terakhir para mutant?

Seperti yang kalangan moviegoers tahu, timeline di franchise X-Men sudah sedemikian berantakannya sampai saya kesulitan menjelaskan asal muasal bagaimana cerita ini dimulai – but let me try.

Timeline dari X-Men bisa dibilang telah direboot oleh studio Fox setelah X-Men: Days of Future Past di tahun 2014 lalu. Karena timeline baru ini even yang terjadi dalam X-Men: The Last Stand tidak lagi terjadi. Bryan Singer pun bebas melanjutkan cerita dari para X-Men dan menggarap X-Men: Apocalypse. Bisa ditebak bahwa film itu malahan menjadi film yang mengecewakan banyak orang. Apocalypse dianggap membosankan dan malahan kalah pamor dengan film Deadpool – sebuah spin-off yang hadir di tahun yang sama. Anehnya, studio Fox masih saja memberikan lampu hijau untuk sekuel dari Apocalypse: Dark Phoenix.

Apabila kalian adalah pembaca komik Marvel, tentunya sudah tahu bahwa kisah epik Dark Phoenix di mana Jean Grey berubah menjadi sosok yang tak terkontrol karena entitas Phoenix adalah salah satu kisah paling legendaris dalam sejarah X-Men. Itu merupakan salah satu alasan kenapa kisah tersebut diangkat dalam X-Men: The Last Stand. Banyak orang menyatakan bahwa film tersebut masih merupakan film X-Men terburuk. Nah, reboot dalam X-Men: Days of Future Past memberi studio Fox kesempatan kedua untuk membuat kisah Dark Phoenix… lagi.

Dan ajaibnya mereka mengacaukannya… lagi.

Salah satu kesalahan terbesar studio Fox adalah menyewa Simon Kinberg untuk menjadi penulis naskah dan sutradara film ini. Betul Simon Kinberg adalah penulis naskah dari Days of Future Past, tetapi di saat yang bersamaan dia juga penulis naskah dari The Last Stand, Apocalypse, dan reboot Fantastic Four yang menunjukkan bahwa mungkin kesuksesannya di Days of Future Past hanya kebetulan semata. Skrip dari Dark Phoenix yang lemah membuat film ini seakan sudah gagal dari awal.

Sedari awal saya sudah merasa kecewa dengan karakter-karakter di film ini. Karakter Jean Grey yang dibawakan Sophie Turner terasa terlalu cepat diubah menjadi sosok Phoenix di dalam film ini. Apabila Famke Janssen paling tidak masih diberi waktu tiga film sampai berubah menjadi sosok Phoenix, tidak demikian dengan Sophie Turner. Sosoknya baru muncul di Apocalypse, tidak pernah menjadi fokus utama di film tersebut, dan mendadak saja di sini ia menjadi sosok utama. Hal itu mungkin tidak apa-apa bila Sophie Turner adalah seorang artis yang kompeten, sayangnya dia tidak. Akting dari Turner sama sekali tidak tersirat dan ia memainkan emosinya secara berlebihan. Bila ia marah, ia menunjukkannya dengan berteriak-teriak lebay. Bila ia sedih, ia menangis secara berlebihan. Penonton tak pernah merasa bisa memahami perasaannya.

Toh masalah akting tak hanya dialami Turner tapi praktis semua cast di dalam film ini. James McAvoy, Michael Fassbender, Jennifer Lawrence, sampai tambahan baru Jessica Chastain adalah artis-artis kaliber atas yang pernah mendapatkan nominasi penghargaan film bergengsi. Mereka seakan tak bisa tampil apik di film ini. McAvoy sebagai Xavier menjadi karakter menyebalkan dan berbeda jauh dari sosok Xavier yang biasa dikenal penonton. Fassbender sebagai Magneto… ah, sudah berapa kali sih ia berubah-ubah dari sosok antihero dan hero? Jennifer Lawrence sepertinya sekedar akting untuk memenuhi kontraknya semata. Terakhir Chastain terasa bingung membawakan perannya yang di sini didesain sebagai villain. Di antara semua villain yang pernah dihadapi tim X-Men, Chastain saya rasa merupakan villain yang paling membosankan dan tidak memorable.

Keamatiran Simon Kinberg dalam menyutradarai film pun terlihat di sekuens aksi film ini. Sejelek-jeleknya sekuens aksi dalam Apocalypse, Bryan Singer masih mampu mengambil beberapa shot-shot yang keren. Tidak demikian di sini, sekuens aksi yang terjadi di pertengahan film terasa membosankan dan sekuens aksi di klimaks film pun terasa datar. Apabila dibandingkan dengan apa yang telah kita tonton dan kita tahu bisa dilakukan dengan dwilogi Avengers: Infinity War dan Avengers: Endgame… wah, sungguh jauh sekali. Dan setiap kali Storm mau menggunakan kekuatan petir dari tangannya ala Raiden, saya mati-matian menahan diri untuk tak tertawa terbahak-bahak di bioskop.

Pada akhirnya, saya merasa kecewa dengan Dark Phoenix. Alih-alih menjadi film yang lebih bagus daripada X-Men: The Last Stand, saya malahan merasa bahwa remake ini justru makin jelek ketimbang film tersebut. Apakah memang kisah Dark Phoenix ini terkutuk dan tak bisa difilmkan ya?

Score: D

reviewapasaja View All

A movie, book, game, TV series, comic, manga, board game, bla bla bla, etc etc etc lover. He tends to ramble about a lots of stuff in life. You can follow in his IG page @dennisivillanueva for his daily ramblings.

Leave a Reply

Discover more from Review Apa Saja

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading