Skip to content

Superman: Man of Tomorrow

Dunia film animasi DC menjalani Reboot keduanya setelah ending dari Justice League Dark: The Apokolips War. Di akhir film tersebut, dunia DC memang selamat dari invasi Darkseid dan laskar Apokolips, tetapi dunia berubah selama-lamanya. Berkat himbauan Constantine, Barry Allen alias The Flash, sekali lagi berlari untuk mengubah sejarah dunia DC.

Kontinuitas baru DC ini dimulai dengan film animasinya di tahun 2020 ini: Superman: Man of Tomorrow, yang sekali lagi mengisahkan mengenai kisah origin sang manusia baja. Hanya saja, sudah berapa kali sebenarnya kisah origin Superman diceritakan? Apakah orang tidak bosan? Apakah ada sudut pandang baru lain yang bisa digali lagi? Itulah pertanyaan yang ada di benak saya menonton film garapan dari sutradara Chris Palmer ini.

Film ini mengambil setting pada saat Clark Kent masih seorang bocah ingusan. Ia baru saja lulus kuliah dan pindah ke Metropolis. Dengan kata lain: ia masih hijau. Dalam kontinuitas ini Pa dan Ma Kent masih hidup, Justice League belum terbentuk, dan para Superhero belum mengenal satu sama lain. Bahkan Clark sendiri hanya bisa menyelamatkan orang diam-diam, tidak berani bertindak terang-terangan karena takut ia akan disangka sebagai ras pendatang (alien) oleh masyarakat bumi yang skeptis.

Hari-hari damai dari Clark berakhir ketika seorang Bounty Hunter antariksa bernama Lobo menyerangnya. Pertarungan antara Clark dan Lobo di tengah Metropolis memakan korban yang tragis: seorang petugas kebersihan dari STAR Labs: Rudy Jones. Badan Rudy yang terjebak di dalam puing-puing reruntuhan terkontaminsi dengan zat berbahaya yang mengubahnya menjadi seekor Monster yang menyerap energi dari sentuhan; seekor Parasit. Bisakah Clark menghentikan Lobo DAN sang monster Parasite? Atau ini adalah tugas yang terlalu sulit bagi sang Superman muda?

Sepertinya sutradara Chris Palmer ingin benar-benar membedakan karyanya dengan kisah-kisah dari DC Animated Universe yang datang sebelum ini. Yang pertama adalah casting suaranya. Bila dalam film sebelumnya suara Superman dan Lois Lane diisi oleh Jerry O’Connell dan Rebecca Romijin, kali ini mereka direcast dan suara mereka diisi oleh dua artis muda: Darren Criss, yang ngetop via Glee, dan Alexandra Daddario. Dan bagi saya perubahan ini perlu, sebab baik Criss dan Daddario membawa energi yang lebih youthful untuk pengisian suara kedua karakter ini, yang secara umur memang jauh lebih muda ketimbang counterpart mereka di timeline pra-Apokolips War.

Tidak hanya pengisi suaranya saja yang berubah tetapi juga teknik animasi dalam film ini. Sepertinya ini menjadi ciri khas DC ya? Coba diingat, style animasi yang dipakai oleh DC Animated Universe berubah drastis setelah film Justice League: The Flashpoint Paradox. Dan kapan gaya animasi mereka berubah lagi? Ya, setelah Barry Allen mengubah Timeline lagi! Kualitasnya? Jujur saja pada awalnya mata saya perlu sedikit membiasakan diri, apalagi karena saya sudah biasa dengan gaya animasi yang serupa tapi tidak sama dengan 15 film DC Animated Universe era The New 52 sebelum ini. Toh, style animasi ini dilakukan dengan detail yang bagus dan ekspresi muka tiap tokoh bisa terpancar dari guratan yang ada. Takkan makan waktu lama bagiku untuk membiasakan diri dengan style animasi ini.

Perubahan estetika memang perlu untuk menandakan ini adalah era yang baru, tetapi yang lebih harus dipertanyakan adalah bagaimana dengan jalan ceritanya? Apokolips War praktis menghapus semua kontinuitas lama dunia DC dan memberi mereka fresh start, sebuah lembaran baru untuk jalan ceritanya, dan dalam hal itu… saya tak merasa kalau film ini bisa seratus persen memanfaatkannya.

Salah satu dilema utama yang diangkat dalam film ini adalah masalah Alien, sebuah metafora bagi para penduduk imigran di Amerika (dan di dunia lainnya). Film ini berusaha tampil politis dengan menyatakan bahwa Superman adalah seorang Alien / Imigran yang baik. Sesuatu yang terlalu sederhana di dunia yang kompleks ini. Betul, Superman atau Clark Kent adalah contoh dari seorang Alien yang mampu meleburkan diri dengan baik, yang mampu menerima kultur Amerika (tanah di mana ia datang), tetapi apakah bijaksana menilai semua Alien / Imigran sepertinya?

Berapa banyak Imigran lain yang tidak seperti Superman? Yang tidak mau menghargai kultur di mana mereka menempatkan dirinya dan sebaliknya justru memaksakan kultur mereka untuk diterima oleh khayalak umum? Bayangkan kalau Superman selama film memaksakan Amerika untuk menerima kultur Krypton? Saya yakin publik akan benar-benar sangat membencinya. Apakah review saya bermuatan politis? Well, why not? Saya kan tengah mereview sebuah film yang juga tengah mengangkat isu politik.

Terlepas dari pendapat politik yang diusung oleh film ini, film ini juga terasa lemah dalam penggambaran sang Villain. Saya tidak pernah jelas dengan apakah sosok The Parasite dalam film ini harusnya simpatik atau tidak. Kalau dia dibilang sebagai seorang tragic villain bak Doctor Octopus di dalam Spider-man 2 , maka tidak tepat, karena perubahan Rudy dari seorang Janitor yang simpatik berubah menjadi Parasite yang haus darah terjadi terlalu cepat… dan di paruh kedua film ini tak lagi berfokus kepada sosok Parasite sehingga penonton tidak bisa mengerti apa yang ada di benaknya. Tanpa ingin spoiler lebih banyak, gara-gara karakter Villain kurang terbangun, adegan di klimaks film terasa kurang menggigit.

Secara overall, saya hanya bisa mengatakan kalau film Superman: Man of Tomorrow merupakan pembukaan yang solid tetapi tidak spektakuler. Di saat DC semakin kehabisan kisah komik untuk mereka adaptasi, semoga saja para penulis skenario film animasinya bisa menemukan cerita-cerita orisinil baru yang nendang untuk format animasinya.

Score: 6

reviewapasaja View All

A movie, book, game, TV series, comic, manga, board game, bla bla bla, etc etc etc lover. He tends to ramble about a lots of stuff in life. You can follow in his IG page @dennisivillanueva for his daily ramblings.

Leave a Reply

%d bloggers like this: